Buku “How Google Works”


IMG_6665.JPG
Buku yang “renyah” yang ditulis oleh Oom Eric Schmidt ini sangat menarik, mengupas Google dan “dapurnya” dari sudut pandang dirinya sebagai “Googler” orang dalam Google. Oom Eric ini adalah seorang engineer kampiun Silicon Valley yang pernah menjadi CEO Google saat awal berdiri.

Siapa pengguna yang tidak kenal dengan Google? bermula dari project iseng Bang Sergey Brin & Bang Larry Page untuk membuat mesin pencari yang memuaskan akhirnya bertransformasi menjadi entitas teknologi dan bisnis yang sangat berpengaruh.

Dalam bukunya Oom Eric Schmidt banyak mengupas budaya Google yang unik, kultur yang unik, semangat kolaborasi dan “passion” kolektif yang digabung dengan para “geek” yang briliant mencoba untuk membuat sesuatu yang lebih baik.

Produk-produk Google berderet mulai yang berhasil seperti Google search engine, Android OS, Chrome, AdWords sampai yang futuristik seperti Google Glass. Dan cerita perjalanan Google ini juga tidak lepas dari produk-produk Google yang “gagal” : Orkut, Wave sampai Google+.

Walaupun secara bisnis Google tidak selalu berhasil dalam lingkungan bisnis teknologi yang keras dan dinamis. Tapi kiprah Google menorehkan hasil yang tidak bisa diremehkan. Kegagalan-kegagalan Google pada beberapa produknya merupakan konsekuensi pekerjaan yang besar.

Budaya Google yang egaliter serta para “googlers” yang haus achievement sepertinya jadi bahan bakar Google tetap tumbuh menjadi maverick teknologi.

Dalam buku How Google Works dapat disimpulkan resep sukses Google dalam mengelola organisasinya adalah:
= budaya egaliter+rekrut orang-orang berbakat yang tepat+ekosistem kerja yang sehat

hasilnya output yang “extraordinary”.

Buku yang sangat menarik dibaca terutama bagi para technology enthusiast atau pengelola SDM.

(Bandung, 22 Nov’14 sambil menyeruput Kopi Aceh Gayo 😊)

The Start-up of You : Dinamis, Adaptif, Inovatif, Kolaboratif dan Risk Taker (Bagian 1)


Image

“All humans are entrepreneurs not because they should start companies but because the will to create is encoded in human DNA.”

Istilah Start-up biasanya disematkan untuk perusahaan-perusahaan yang baru berdiri yang umumnya bergerak dalam bidang teknologi, internet dan layanan web. Di era tahun 2005 sampai sekarang istilah perusahaan Start-up terdengar seksi dan cool. Perusahaan-perusahaan dot com atau perusahaan teknologi yang sekarang sudah dikenal seperti LinkedIn, Twitter, Facebook, Instagram, Kaskus pada awalnya adalah sebuah entitas start-up yang digerakkan oleh semangat kewirausahaan.

Umumnya perusahaan start-up bersifat dinamis, mudah beradaptasi secara cepat dengan perubahan serta inovatif. Tentunya hal tersebut dituntut ada dalam sebuah start-up, dengan kondisi sumber daya yang relatif terbatas dan dalam iklim bisnis yang penuh ketidakpastian jargon berinovasi atau mati adalah sebuah mantra keharusan.

Buku The Start-up of You yang ditulis oleh Reid Hoffman dan Ben Casnocha yang menyajikan semangat entrepreneurship dalam konteks karir profesional yang sangat menarik (menurut saya). Kedua penulis tersebut memiliki latar belakang entrepreneur bahkan Reid Hoffman co-founder situs jejaring sosial profesional LinkedIn berprofesi sebagai angel investor. Sampai postingan ini ditulis buku The Start-up of You ini masih belum ada versi Bahasa Indonesia.

Reid Hoffman dan Ben Casnoscha menyajikan paparan tentang ide DNA Start-up; dinamis, adaptif, inovatif serta kolaboratif menjadi lebih luas lagi. Tidak hanya untuk entitas perusahaan atau business owner tapi juga untuk karir seseorang (employee atau self employee). Ada satu premis yang menarik yang disajikan dalam awal buku yaitu “sebetulnya semua manusia itu adalah entrepreneur” …ya entrepreneur, sejak jaman dahulu sejak peradaban manusia masih mengandalalkan berburu dan tinggal dialam terbuka insting untuk bertahan hidup menhadapi dan mengelola resiko yang ada sudah ada didalam diri manusia. Menurut saya cukup make sense, entrepreneur di era sekarang adalah banyak berhubungan dengan aktifitas mengelola resiko bukan menghindari resiko. Aktifitas bisnis banyak berhubungan dengan membuat suatu layanan, produk, jasa ditengah market yang penuh resiko untuk menghasilkan nilai tambah bagi konsumen serta perusahaan.

Ide ini pun sebetulnya relevan jika diterapkan dalam kerangka profesi sebagai pekerja atau free lance. Mengelola resiko, dinamis, adaptif, inovatif dan kolaboratif dapat diterapkan dalam perjalanan karir ataupun saat membangun kompetensi. Meniti karir dalam sebuah korporasi pun tentu tidak lepas dari faktor resiko. Karena sebuah korporasi bisnis adalah pelaku usaha yang “berselancar” dalam lautan bisnis yang penuh resiko dan perubahan selera pasar serta iklim bisnis maka status pegawai pun tidak lepas dari resiko PHK, pemutusan kontrak kerja.

Reid Hoffman memberikan contoh Detroit Amerika Serikat yang pada awalnya adalah daerah bisnis otomotif raksasa kebanggaan Amerika, yang seakan imun dengan resesi ataupun perubahan iklim bisnis. Akhirnya Detroit dan kerajaan-kerajaan otomotif General Motor, Chrysler, Ford rontok tersapu oleh badai krisis moneter serta persaingan ketat dengan industri otomotif Jepang. Jajaran bisnis keuangan di Wall Street; Lehman Brothers, Merryl Lynch, JP Morgan tidak luput dari hantaman badai krisis keuangan tahun 2009. Pemutusan kontrak kerja terjadi dimana-mana di Amerika mengakibatkan angka pengangguran meningkat. Para pekerja yang sudah biasa hidup dan beraktifitas dalam zona nyaman pun harus banting stir. Disinilah mungkin naluri untuk bertahan hidup diperlukan.

Beta Permanent

Pola pikir dan mental  untuk bertahan mengelola resiko ala seorang entrepreneur diperlukan untuk bisa terus bertahan, tumbuh berkembang dalam profesi apapun. Berhubung kebutuhan terhadap suatu keahlian, produk senantiasa berkembang dalam suatu proses karir ataupun dunia usaha, Hoffman dan Casnoscha menawarkan konsep “permanent beta”. Yaitu senantiasa menempatkan aktifitas profesional dalam fase yang harus terus menerus diasah ataupun diperbaiki. Mungkin mirip dengan konsep “Kaizen” Jepang. Istilah “beta” ini biasanya digunakan untuk fase peluncuran suatu produk teknologi ke market yang masih belum 100% sempurna, untuk dapat mendapatkan umpan balik dari pengguna. Masih ingat saat kita menggunakan layanan Google tahun 1998 yang masih versi beta ataupun layanan email Gmail-beta.

Kemampuan Kompetitif

Dalam iklim persaingan profesional dan dunia bisnis yang keras seperti sekarang iklim persaingan berlangsung sangat ketat. Dengan adanya teknologi internet hampir setiap orang dibelahan bumi memiliki akses yang relatif sama terhadap informasi. Iklim profesional pun cenderung untuk bersifat global. ontoh kasus produk teknologi dengan merek Amerika Serikat di rakit di pabrik Shenzen Cina dan dipasarkan melalui Singapura. Sehingga agar bisa berkompetisi diperlukan kemampuan yang kompetitif baik untuk sebuah perusahaan ataupun seorang profesional. Tidak selalu harus menjadi yang terbaik dari semua kompetitor tapi menjadi yang terbaik disuatu bidang yang spesifik. yang memiliki nilai tambah untuk pangsa pasar tertentu. Mengasah kompetensi yang relevan dengan bidang profesional kita ataupun dengan portofolio bisnis akan sangat menunjang untuk dapat bertahan dalam era kompetisi yang ketat.

Image

Aset, Visi & Market

Komponen aset yang kita miliki, visi kedepan serta market yang ada menjadi titik tolak kemampuan kompetensi apa yang kita miliki. Misalkan seorang peneliti di perusahaan life science dengan latar belakang kemampuan bioteknologi yang kuat, bertugas dalam tim pengembangan suatu produk baru menambah kemampuan kompetensi dengan mengasah kemampuan dalam patent analysis atau patent forecasting. Sebagai “senjata” tambahan dalam melaksanakan aktifitas profesional penelitian dan pengembangan diperusahaan tempat bekerja. Untuk mendapatkan suatu kemampuan kompetitif yang baru dan kuat tentu diperlukan investasi baik investasi waktu, biaya.

Adaptif

Image

Rencana A-B-Z

Perubahan dalam kehidupan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Termasuk dalam karir profesional ataupun dunia usaha. Kemampuan untuk beradaptasi secara cepat dan mengantisipasi perubahan adalah suatu kemampuan yang kritikal untuk bisa bertahan dan tumbuh berkembang. Tetap teguh dan konsisten dalam konteks kekinian akan tetapi fleksibel dalam mengadopsi perubahan yang mungkin terjadi. Ibaratnya dalam strategi militer, tedapat rencana A, B atau Z dalam karir profesional ataupun dalam aktifitas bisnis. Saat sewaktu-waktu terdapat perubahan moderat ataupun radikal dalam lingkungan profesional ataupun pangsa pasar sudah terdapat rencana antisipasi yang cukup terukur dan sistematis.

Contoh perjalanan karir Sheryl Sandberg adalah contoh perjalanan karir yang cukup menarik untuk disimak. Wanita nomor dua di Facebook mendampingi Mark Zuckerberg sebagai COO Facebook awal mulanya meniti karir sebagai asisten Larry Summer dalam  kabinet Barack Obama, beralih ke Google bagian periklanan dimana saat itu Google masih sebagai Start-up belum sampai tahap raksasa internet seperti sekarang. Sampai akhirnya “banting stir” berlabuh membesarkan Facebook (masih berbentuk Start-up) sebagai COO, mendampingi Mark Zuckerberg yang masih “miskin” kemampuan manajerial dalam membesarkan facebook. Kiprah Sheryl di Facebook banyak dipuji sebagai wanita karir yang membesarkan Facebook baik dalam skala bisnis ataupun dalam konteks internal Facebook (buku Lean In Sheryl Sandberg banyak mengupas sisi leadership dan karir dari ibu yang satu ini).

Membangun Jaringan yang Relevan 

Jaringan pertemanan atau bahasa kerennya networking memiliki kontribusi dalam membangun karir profesional ataupun aktifitas bisnis yang kuat. Perkembangan karir profesional atauoun bisnis bisa berkembangan secara eksponensial dengan bantuan jaringan yang tepat dan relevan (tentunya bukan dengan jaringan politik transaksional yang cenderung korup). Jaringan yang relevan bisa sebagai rekan kerja, partner bisnis ataupun mentor yang mampu melejitkan kemampuan atauoun membuka akses kedalam sumber modal, teknologi ataupun sumber daya lainnya. Di Silicon valley sebagai icon dunia technopreneur sudah lazim jejaring profesional ataupun pertemanan yang relevan menghantarkan kedalam resource yang tepat untuk membantu tumbuh berkembang. Contoh saat tatkala membangun Facebook, Mark Zuckerberg mendapatkan pendanaan awal dari Peter Thiel seorang angel investor terkemuka berkat rekomendasi dari Sean Parker, seorang kawan Zuckerberg.

Di Indonesia terdapat Komunitas TDA (Tangan Di Atas) yang bisa sebagai role model networking business. Komunitas TDA ini mengkolaborasikan para wirausahawan dan membentuk agregat-agregat komunitas pelaku usaha serta calon pelaku usaha dengan visi tumbuh berkembang bersama secara sehat. Komunitas ini terlihat aktif dan dinamis mendukung perkembangan aktifitas bisnis para anggotanya serta terlibat aktif dalam masalah sosial di negeri ini.

=======================================================================

Berhubung topik buku ini masih ada beberapa chapter yang menarik untuk dibahas, postingan ini dilanjut ke postingan berikutnya :).

Semoga bermanfaat.

Bandung 23 Februari 2014

(Bersambung)

Buku “Everyone Can Lead”


“Leadership is the art of getting someone else to do something you want done, because he wants to do it”

Buku karya Pak Hasnul Suhaimi ini sangat enak dibaca. Dengan bahasa yang sederhana, membumi tapi mampu menyampaikan pesan yang kuat dalam hal aktifitas kepemimpinan.

Pengalamannya yang sudah lama malang melintang dalam dunia teknologi terutama bidang telekomunikasi, sampai menjadi pucuk pimpinan perusahaan telco ke 2 terbesar XL. Menjadikan buku ini banyak memaparkan kepemimpinan berdasarkan pengalaman yang tidak lepas dari ide-ide dan konsep yang sudah establish.

Menarik, “everyone can lead” dalam beragam cakupan, tentunya dengan prasyarat yang harus dilakukan, bekerja lebih keras, berempati dengan hati berdasarkan kecerdasan spiritual.

20130801-071623.jpg

Buku Kopassus untuk Indonesia


20130105-093413.jpg

Akhirnya berhasil juga dapat buku tentang Kopassus ini : “Kopassus untuk Indonesia”. Buku yang secara resmi dirilis oleh pihak Kopassus dengan penulis dari pihak sipil. Berhubung di seluruh toko buku di Bandung buku ini sudah habis, akhirnya saya memperolehnya langsung memesan ke penerbit. Buku Kopassus untuk Indonesia di terbitkan oleh Red & White Publishing, dengan desain buku yang cukup trendy.

Buku ini banyak mengupas karakter kesatuan pasukan khusus mulai dari perekrutan yang super ketat dengan seleksi materi super berat, sampai beragam tugas di daerah operasi.

Banyak pengalaman yang unik dan menarik dari para personel anggota pasukan parakomando ini. Mulai dari anggota Kopassus yang baru satu kali merasakan landing karena setiap kali terbang selalu di drop dengan parasut, sampai personel Kopassus yang menyamar sebagai penjual durian untuk menembus petinggi GAM di Aceh.

Di balik hawa “angker” Korps Kopassus, pembaca buku ini di ajak “memahami” para anggota pasukan elite ini bahwa mereka juga manusia biasa yang masih memiliki perasaan dan hati nurani.

20130110-182917.jpg

Novel Grafis The Raid


image

Di tengah semaraknya  film laga The Raid yang memang fenomenal, ternyata Tim Merantau Film juga merilis versi komik atau mungkin lebih tepatnya novel grafis dari The Raid.

Saya sendiri belum melihat film The Raid yang katanya banyak memperlihatkan adegan laga yang “brutal” tapi dengan koreografer fighting scene yang top.

Novel grafis The Raid ini cukup tipis tidak setebal novel grafis Palestina nya Joe Sacco atau V For Vendetta. Sehingga tujuan untuk mentranslasikan alur cerita di film kr dalam media novel grafis ini pasti akan banyak berkurang gregetnya. Novel grafis  ini hanya dapat menyajikan secara briefly dari keseluruhan film tentunya.

Akan tetapi coretan-coretan gambar yang tegas dan agak rough dengan warna hitam putih di novel grafis ini cukup menarik bagi saya.

image

image

Sayang nya gambar adegan pertarungan di novel grafis  ini dibuat tidak terlalu detail, lebih bergaya coretan-coretan yang tegas. Mungkin untuk memberikan kesan cepat. Agak mirip dengan manga “Enmei Mutsu”.

Akan tetapi walaupun menyerupai komik, novel grafis The Raid  kurang tepat dikonsumsi oleh anak-anak. Dialog kata-kata kasar dan makian masih tetap ada di grafik novel ini.

Dengan berbagai kelebihan & kekurangannya novel grafis The Raid, menurut saya tetap layak mendapat acungan  dua jempol untuk ide dan kreatifitasnya.  Film The Raid dan novel grafis nya merupakan bagian dari karya dan prestasi anak bangsa yang layak dapat apresiasi.

Onward ; buku menarik tentang Starbucks


image

Bagi para penyuka kopi nama Starbucks identik dengan kopi yang “kuat” dan dengan suasana tempat ngopi yang nyaman (dan tentunya harga yang dipatok termasuk tinggi). Model bisnis Starbucks yang di komandani Howard Schultz ini berhasil menjadikan Starbucks menjadi industri retail kopi terbesar didunia.

Selain menjual kopi, Starbucks ingin menjadi “rumah kedua” bagi para pelanggan untuk ngopi, ngobrol dan beraktifitas lainnya. Positioning ini menjadikan Starbucks bisa disebut icon budaya masyarakat urban modern, termasuk juga di kota-kota besar di Indonesia. Untuk kisah Starbucks ini ada buku lama yang menurut saya menarik; Pour Your Heart Into It.

Sampai tahun 2007 ekspansi bisnis Starbucks makin luas. Dengan bertambahnya gerai-gerai dan portofolio bisnis lain yang tidak berhubungan dengan kopi, menjadikan Starbucks menjadi salah satu icon bisnis yang dianggap sukses. Role business Starbucks banyak dijadikan studi kasus di sekolah-sekolah bisnis. Intinya Starbucks adalah “rockstar” di bidang industri retail sekaligus menjadi icon budaya modern.

Tapi seperti pepatah nothing last forever … Starbucks mulai bermasalah. Angka penjualan stagnan dan menurun drastis ditambah kondisi ekonomi yang lesu di Amerika pada tahun 2008. Ditamvah lagi kompetitor sejenis seperti McD pun mulai merambah bisnis kopi. Kondisi perusahaan ini yang mulai mengkhawatirkan Schultz yang saat itu duduk sebagai Chairman memaksanya kembali menjadi CEO Starbucks. Schultz sebagai founder Starbucks memang memiliki sense dan soul tentang detail bisnis kopi dan misi awal berdirinya Starbucks. Bukan hanya kebetulan Michell Dell pendiri Dell Computer pada waktu yang sama kembali menjadi CEO Dell Computer. Walaupun belum ada jaminan 100% kembalinya sang founder dapat membereskan masalah, tapi setidaknya tidak ada orang yang lebih tepat daripada orang yang membidani perusahaan ini. Sang pendiri sebuah perusahaan biasanya memiliki soul dan sense yang peka untuk dapat  mengembalikan perusahaan ke jalur yang sehat. Contoh keberhasilan kembalinya sang pendiri adalah kembali nya Steve Jobs saat Apple Computer nyaris musnah.

Dan dimulai lah proses reformasi di Starbucks, proses yang tidak selalu manis karena harus menutup banyak gerai dan mem phk kan banyak karyawan. Konsolidasi, reorganisasi, inovasi serta komunikasi yang intens dilakukan Schultz dengan para mitra (istilah Starbucks untuk para stakehoulders adalah mitra).

Schultz yang saat awal pendirian Starbucks terinspirasi coffee shop di Italia, dimana espresso disajikan dengan penuh kehangatan, peracik kopi pun memiliki kedekatan emosi dengan pelanggan. Saat terjadinya krisis, Schultz merasa hal-hal romansa kopi ini telah banyak menghilang dari Starbucks, yang telah  beralih jadi hanya “mesin pencetak uang” semata.

Buku Onward ini menceritakan pergulatan Schultz dan tim nya untuk menjadikan Starbucks menjadi perusahaan kopi yang memiliki semangat positif dan kedekatan emosi dengan para pelanggan denfan menyajikan kopi berbahan dasar terbaik yang bisa diperoleh. Buku ini tersusun atas bab-bab pendek dengan bahasa yang ringan dan renyah 🙂 sangat enak dibaca bagi penyuka buku bisnis populer.

Buku keren tentang Pak Dahlan Iskan


image

Buku “Dua Tangis dan Ribuan Tawa” ini keren sekali. Buku yang “bergizi tinggi” tapi enak di baca. Isi buku ini adalah CEO Note dari Pak Dahlan Iskan sewaktu masih menjabat sebagai Dirut PLN. Tulisan-tulisan Pak Dis (panggilan akrab Pak Dahlan) ini mencerminkan gaya kepemimpinannya yang “get things done” secara efektif-efisien, tanpa menghilangkan sisi humanis. Pokoknya buku ini “must read” lah :).

Buku The Shallows ; what the internet is doing to our brains


Bagi pengguna internet dengan dosis yang cukup besar (termasuk saya) buku ini menjadi “kabar buruk” tentang dampak internet terhadap cara berpikir kita. Berlawanan dengan buku-buku lainnya yang banyak memuji-muji teknologi internet sebagai suatu terobosan positif, misalkan buku The World Is Flat ataupun buku Free. Buku The Shallows dari Nicholas Carr menyajikan suatu fakta dan analisis yang berbeda tentang dampak lain dari internet.

Dengan melimpahnya informasi melalui internet serta kecepatan untuk dapat mengaksesnya memberika dampak berupa berubahnya cara bekerja dari otak kita. Pengguna internet memiliki kecenderungan untuk kurang bisa berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama. Otak para netters cenderung “menolak” menyerap informasi yang panjang, informasi singkat dan hyperlink yang umum tersedia dalam dunia cyber menjadikan otak kita berubah dalam cara mengelola informasi yang diperoleh. Carr dalam bukunya memaparkan ada perubahan cara kerja otak ataupun berpikir kita dalam menyerap informasi melalui buku-buku serta menyerap informasi melalui internet. Dalam argumennya Carr menjelaskan internet mendorong otak untuk lebih menyerap informasi secara singkat, enggan untuk membaca teks secara panjang dan runut, lebih menyukai karakter teks yang singkat (seperti hal nya panjang karakter huruf dalam Twitters).

Apalagi dengan maraknya internet dan jejaring sosial menjadikan pengguna internet seakan terjauhkan dari lingkungan sosial yang “nyata” dan lebih nyaman bersosialisasi dalam lingkungan yang “maya”. Tentunya hal ini juga kurang sehat bagi kualitas kehidupan seseorang sebagai mahluk yang bersifat sosial. Gaya hidup solitaire akan lebih dominan dengan budaya internet yang tidak terkendali.

Mengamati fenomena sekarang dimana internet sudah menjadi oksigen bagi sebagian orang terutama kalangan masyarakat muda usia, sehingga nyaris kebutuhan terkoneksi ke internet menjadi kebutuhan utama. Seakan-akan menjadi sesuatu yang kurang jika tidak terhubung ke internet baik itu melalui PC ataupun perangkat bergerak seperti smartphone ataupun Tablet PC (untuk perangkat yang satu ini cukup menjadi primadona di tahun 2010 dan 2011 melalui iPad Apple dan jenis Tablet Android).

Tidak bisa dinafikan teknologi internet memang menawarkan banyak kemudahan dan keasyikan yang menyenangkan bagi para penggunanya, mulai dari memudahkan pekerjaan, hiburan, berinteraksi serta  menjadi daya ungkit terhadap budaya, sosial, ekonomi dan politik. Tapi tentunya suatu teknologi ada dampak negatifnya jika tidak digunakan secara tepat dan bijak.Buku The Shallows ini cukup memberikan “pencerahan” dan fakta-fakta yang menarik tentang memanfaatkan teknologi agar benar-benar memberikan nilai tambah, bukannya bersifat destruktif dan kontra-produktif.

Bandung, diakhir tahun 2011 🙂

Bagaimana pendapat anda ?

Buku “One Click”; kisah toko online Amazon.com dan Jeff Bezos


image

Sambil menunggu jadwal keberangkatan penerbangan beberapa hari yang lalu, saya mampir ke TIME. Akhirnya dapat buku ini; One Click, desain sampulnya cukup minimalis :).

Buku One Click ini mengupas profil Jeff Bezos, pendiri Amazon.com, perusahaan retail online raksasa. Profil Jeff ini mungkin tidak terlalu dikenal tidak seperti Bill Gates ataupun Steve Jobs. Tapi kalau dari sisi inovasi produk Jeff Bezos inipun sosok jenius. Dengan back ground pendidikan Computer Science dan kecerdasannya dalam menangkap peluang, Amazon.com tumbuh menjadi ritel online raksasa.

Dari semula hanya menjual buku secara online, Amazon.com merambah penjualan beragam produk lainnya mulai dari cd music, pakaian serta layanan komputasi awan (cloud computing). Amazon.com juga dinilai berhasil dalam membentuk pangsa pasar e-book reader dan e-book dengan diluncurkannya Kindle, e-book reader yang laris (Amazon.com juga pada akhirnya merilis tablet android juga).

Satu hal lagi Amazon.com selain fokus kepada produk juga fokus kepada layanan pelanggan. Situs Amazon.com yang “user friendly” dan kaya fitur (review produk, saran produk terkait) menjadi toko tempat belanja yang unik. Dengan costumer service Amazon.com yang handal dan pengiriman barang yang kilat menjadikan Amazon.com mampu “menjaring” banyak pelanggan loyal.

Jeff Bezos, Amazon.com dengan “teknologi one-click” dinilai mampu melakukan “quantum leap” mengenai cara bisnis retail modern. Dengan menggabungkan teknologi internet, layanan pelanggan dan sistem suplai yang sangat efisien.

The Pixar Touch ; cerita “dapur film ajaib” Pixar


Pixar, ah nama yang sudah tidak asing bagi para penyuka film-film animasi yang segar. Sebut saja Toy Story, Monster Inc, Finding Nemo, The Incredible, Ratatouille sampai Cars 2 adalah sebagian buah kerja keras Pixar. Ciri khas film-film Pixar adalah animasi yang detail nan elegan serta karakter tokoh cerita yang mantap. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun banyak yang menggemari film-film Pixar. Tapi selain filmnya mungkin tak banyak orang yang tahu tentang Pixar dan orang-orang yang ada di balik “dapur ajaib” studio film ini.

 

 

Sebetulnya sejarah studio film ini agak-agak mirip kisah Cindirella, didirikan oleh pHD Fisika yang “frustasi” Edwin Catmull. Yang juga seorang genius animasi komputer grafis, yang saat itu  komputer grafis belum dikenal sebagai media utama membuat film. Buku “The Pixar Touch; The Making Of A Company” mengupas Pixar secara apik dan menarik.

 

Ternyata di belakang kiprah Pixar banyak tokoh-tokoh menarik dan punya talenta mengagumkan. Ada sosok Edwin Catmull pH.D Fisika yang bertangan dingin mengatur para staff kreatifnya yang “hippie” sambil berhasil meyakinkan Goerge Lucas (sineas pembuat film Star Wars) serta Steve Jobs untuk membeli Studio Film ini. Ada John Lasseter, seniman luar biasa yang sangat “passionate” dengan film dan animasi. Sebagai catatan di tahun 80-an sampai 90-an teknologi komputer masih mendapat porsi yang sedikit untuk digunakan dalam pembuatan film. Dan semua orang yang berkiprah di Pixar sama-sama memiliki “passion” yang kuat akan animasi dan film.

 

Khusus tentang Steve Jobs (Founder Apple Computer) yang saat itu baru didepak dari Apple, ia banyak bertaruh habis-habisan dengan Pixar, Studio Film yang baru dibelinya tahun 1986. Dekade berikutnya Oom Steve sampai harus menguras dompetnya demi kelangsungan Pixar dan teknologi pendukungnya. Walaupun begitu, di Pixar Oom Steve bergaya pemimpin yang “baik” jauh dari kesan “megalomania” dan keras kepala waktu masih di Apple Komputer. Sampai akhirnya peruntungannya berubah, Toy Story Film laris di tahun 1995 membalikkan nasib Pixar dan Steve Jobs. Padahal nyaris saja Steve mau menjual Pixar ke Microsoft; “musuh bebuyutannya” J. Selanjutnya Pixar cukup konsisten sebagai Fim Maker yang mampu menghasilkan film-film bermutu baik secara estetis maupun secara bisnis. Pixar sudah menelurkan tujuh Blockbuster movie berturut-turut dan menetapkan dirinya sebagai entitas independen yang kreatif.

 

Sejak tahun 2006 Pixar menjadi bagian dari Walt Disney dengan nilai $7,4 Milliar. Walaupun dalam segi operasional Pixar tetap diberikan kebebasan yang penuh untuk berkreasi tanpa banyak di interverensi Walt Disney. DNA kretaif Pixar seakan lebih kuat dari Walt Disney.

 

Pada awal perkembangan Pixar bersama Steve Jobs, Pixar lebih mengedepankan aspek bisnis komputer untuk proses grafis ketimbang memproduksi film animasi yang laris. Hal ini tidak lepas dari arahan Steve Jobs sebagai CEO Pixar dan juga CEO NeXT Computer.

 

Sejak tahun 1985 tim di Pixar sudah mampu mengembangkan Pixar Image Computer (PIC) komputer dengan tenaga komputasi besar (saat itu) yang didesain khusus untuk urusan pergrafisan tingkat tinggi. Tapi ternyata bisnis Komputer Grafis tidak semenarik perkiraan Steve Jobs, disamping harganya yang relatif  mahal daya serap pasar saat itu belum besar. Tapi ada hal yang menjadi penyelamat, film animasi pendek buatan Pixar berjudul Luxo Jr menjadikan Pixar mendapatkan pujian baik dari kalangan ilmuwan komputer serta dari kalangan sineas sampai dijadikan nominasi Oscar untuk Best Short Animated Film. Padahal awalnya film animasi pendek Luxo Jr adalah film animasi untuk mempromosikan PIC, komputer grafis buatan Pixar.

 

Keberhasilan ini memberikan amunisi percaya diri yang kuat bagi Pixar untuk memproduksi film-film animasi. Dan Steve Jobs sebagai CEO pun mengubah haluan bisnis Pixar menjadi Studio Film animasi, dan menjual bisnis Komputer Grafis Pixar. Dan momentum Film Toy Story mampu mengorbitkan Pixar menjadi Studio Film berkelas yang dikuti oleh film-film animasi lainnya.

 

Pekerjaan yang dilakukan oleh Tim Pixar dalam membuat film animasi adalah pekerjaan gabungan aktifitas engineering serta aktifitas “make an art”. Gerak bulu yang terlihat nyata pada tokoh Monster “Sullie”  Sullivan di Monster Inc atau animasi laut yang memukau di Finding Nemo adalah salah satu contoh karya yang fantastik.

Pesan moral yang dapat diambil dari The Pixar Touch adalah bagaimana “passion” untuk berkarya, orang-orang yang bertalenta dan dapat saling bersinergi secara team work, menciptakan suatu karya yang outstanding.

 

*Pixar; diambil dari Bahasa Spayol; membuat gambar atau membuat pixel